Kamis, 03 November 2011

how Beautiful my Life,,,,,,,,,

Alhamdulillah, mungkin kata itulah yang tak hentinya aku panjatkan kepadaMu ya Robb, jika aku harus mengingat indahnya hidupku kini. Habis Gelap terbitlah terang, buku karangan Raden Ajeng Kartini inipun sepertinya mampu mewakili perasaanku untuk mengawali kisah hidupku kini.

Masih segar dalam ingatan, kala itu aku serta temen – temen seperjuanganku, mereka adalah Irwin, Rosa, Kun, Mb galuh, resah memikirkan kelangsungan hidup kita selanjutnya, karena ternyata tempat kos kami yang waktu itu kami tempati, menurut ibu kos kami merupakan rumah dalam status sengketa dengan pengadilan, karena rumah itu mantan rumah mantan bupati Jember yang terbukti korupsi, dan meskipun rumah itu telah terbeli LUNAS oleh ibu kosku,namun rumah itu masih di usut oleh pengadilan sebagai aset yang di miliki oleh sang bupati, (entahlah aku tak mau tahu tentang urusan hukum yang makin terasa tak ada keadilan ini ).

Dan yang ada di benak kita waktu itu jika seandainya rumah itu tiba – tiba di sita oleh pihak yang berwajib, maka kemanakah kita akan berpijak? Menggelandangkah??? Sungguh tak mungkin. Pemikiran itu sedikit demi sedikit menyusupi pikiran kami semua sehingga hari – hari kami pun resah karenanya. Doa terus kita panjatkan kepada Alloh untuk meredam keresahan kami yang kian hari makin memuncak, hingga akhirnya kami tersadar bahwa upaya kami mulai membuahkan hasil, yakni Alloh menjawab doa kami, dengan mempertemukan kami dengan sebuah rumah yang bersegel “DIKONTRAKAN”di Jalan Jawa Blok E no 17.

Penemuan rumah itu berawal dari ketika Irwin sedang sholat di Masjid Nurohman, ( sebuah masjid di depan kontrakan kami ), ketika dia sedang mengadukan keresahan akan beban pikiran yang selama ini menggelayuti pikirannya kepada sang Robbi, Alloh menunjukan kemurahanNya, dengan mempertemukan Irwin dengan ibu paruh baya, yang bernama bu Tauhid, beliau menawari Irwin untuk mengajar ngaji di Masjid tersebut. Irwin dengan senag hati menerimanya, dan mereka pun meneruskan obrolannya, dan Irwin pun curhat akan kegalauan hatinya kepada ibu tersebut, dan sebuah solusi yang cukup melegakan yakni ibu Tauhid menawari 4 buah kamar kos – kosan yang masih tak berpenghuni, tentunya jumlah ini sangat kebetulan dengan jumlah kami yang sedang resah terkait masalah kosan yang berstatus sengketa. Irwin langsung menerima tawaran itu, sebelum pulang Irwin juga melihat Rumah di depan rumah bu Tauhid ternyata di kontrakan.

Sepulangnya dari situ Irwin lalu menceritakan kepada kami atas penemuanya itu, kami semua gembira, karena kabar dari Irwin ini bagi kami bagaikan oase di tengah gurun pasir yang mampu menyegarkan keruhnya pikiran kami selama ini. Kami pun segera berdiskusi, dan pilihan kita akhirnya memutuskan untuk mengontrak rumah saja, karena dengan mengontrak rumah, kita bisa melatih kemandirian, kedewasaan, serta tanggung jawab kami masing – masing.

Akhirnya kami semua sepakat untuk mengontrak, setelah negosiasi dengan Pak Rizqon, sang pemilik rumah ini selesai, kami di perbolehkan untuk menempati rumah kontrakan kami, tepat pada hari kamis tanggal 29 september 2011, kami boyongan dari kosan kami yang lama ke kontrakan kami yang baru. Saat itu aku sangat sedih sekali harus meninggalkan ibu kos dan 2 anaknya yaitu dek Icha dan dek Hida yang sudah bagaikan keluarga sendiri bagiku. Namun keputusan ini telah bulat bahwa kami harus hijrah, tidak ada pilihan lain, tapi kami berjanji akan tetap menjaga tali silaturahmi dengan mantan ibu kosku. Kami pindahan bagaikan korban bencana alam yang hendak mengungsi, begitu banyak barang yang harus kami bawa, bahkan kamipun sampai menyewa pick – up untuk mengangkut barang - barang kami.

Kehidupan baru segera di mulai, kami mulai berbenah untuk mengawali kehidupan kami disini, seperti membersihkan, serta menata perabotan agar rumah terlihat rapi, karena kami tak ingin merusak citra rumah kami yang bagus secara fisik, kami sangat menyukai rumah kontrakan kami, secara desain rumah kami sangat nyaman, pencahayaan yang ternag, ventilasi yang lebih dari cukup, serta yang menjadi kebanggaan kami tiga pohon mangga dengan buahnya yang tergantung dengan lebatnya.

Kehidupan kami terasa nyaman disini, dan kesempurnaan itu bertambah ketika kami tak pernah telat untuk sholat berjamaah di Masjid yang karena memang letaknya yang sangat dekat dengan kontrakan kami, ini juga merupakan fitur unggulan yang di miliki oleh kontrakan kami, yang tak henti – hentinya aku banggakan, karena mengingat bahwa pahala sholat berjamaah di masjid lebih utama daripada sholat munfarid ( sendirian ).

Kesempurnaan itu makin terasa lengkap ketika kami memiliki tetangga – tetangga yang sangat baik, perhatian dan suka menolong kami, mereka adalah bu Tauhid, para Takmir Masjid (Mas Didin, Mas Agus, Mas Akbar, Mas Heru, Mas Kamal, dll) yang membuat kami makin betah tinggal disini. Sesuai dengan perjanjian awal dengan bu tauhid ketika pertemuan pertamanya dulu, Irwin akan menepati janjinya untuk mengajar ngaji di TPQ masjid Nurohman, tentu dia tak sendirian, kami selalu membantunya, karena memang kami semua bersedia dan senang bermain dengan anak kecil, sehingga bu Tauhid memperkenalkan kami dengan para Takmir masjid, yang telah mengurusi TPQ selama ini. Proses taaruf di warnai dengan makan bersama di masjid antara kami, para takmir masjid, bu tauhid, Pak Tukiman. Menu sederhana memang, hanya sayur nangka muda, tempe goreng, dan kolak pisang,yang kami masak sendiri, dengan peralatan yang masih pinjem ke mantan ibu kos (jadi inget ketika masak bareng dengan mantan ibu kos, yang juga hobi memasak).

Setelah acara itu kedekatan kami semakin terjalin, seperti dengan Bu Tauhid, kami sering curhat kepada beliau, beliau bagaikan nenek kami disini yang sering memberi kami petuah – petuah bijaknya. Begitu pula dengan mas – mas takmir masjid yang selalu siaga saat kami membutuhkan pertolongan, mulai dari pinjem obeng, memanen mangga, bahkan saat kami tak bisa memasak tabung gas kompor gas kami, kami pun minta tolong mas – mas tersebut untuk membantu kami, namun meskipun kami telah mengadakan sayembara untuk memasangkan regulator tabung gas kami, tak satupun dari mas – mas tadi yang berhasil, yang berhasil justru pak Jaelani, seorang kakek salah satu jamaah di Masjid Nurohman. Terimakasih ya Alloh, kami di kelilingi oleh tetangga – tetangga yang begitu care dan perhatian kepada kami.

Dengan mengontrak inilah kita di tempa untuk bisa bersosialisasi dengan masyarakat, tentunya ilmu ini amatlah penting bagi kami ketika telah berumah tangga kelak. Disini kami juga menerapkan hadist rosululloh untuk menjaga hubungan baik dengan tetangga, kami mewujudkannya dengan saling berbagi makanan dengan tetangga – tetangga, saat mas – mas takmir masjid memiliki makanan berlebih, mereka memberi kami, begitu pula saat kami masak berlebih, kami pasti memberi mereka, (ckckck,,,so sweeet....).

Disini aku juga punya pengobat rasa stres alami, yakni ketika kami telah mengajar adek – adek TPQ yang lucu – lucu itu stress yang kami alami pun sekan sirna, (pengecualian bagi : Darma in the Genk, yang justru menambahi tingkat kestresan kami dengan “Ndablek”-nya), namun tetep saja kami syukuri keberadaan Darma in the geng, membuat kami makin bersabar dan rajin beristigfar, semuanya ambil sisi positifnya saja. Pengalaman pertama mengajar di TPQ memang kami di buat syok dengan ke-Hiperaktif-an mereka, mereka bermain bola dalam masjid, saling berkejar – kejaran, tentunya kami yang masih belum berpengalaman ini tak kuasa untuk membendung aksi mereka, hingga akhirnya mereka di tertibkan oleh mas – mas takmir masjid yang juga ustadz mereka. Tapi kin aku pun mulai mencintai mereka dengan segala tingkah polahnya.

Ada banyak hal dan pelajaran baru yang ku peroleh disini, membuatku tersadar bahwa ilmuku terkait Islam masih perlu di perbanyak lagi, bahkan ilmu dasar untuk membaca Al – Quran pun masih banyak yang belum aku kuasai, tentunya hal ini juga membuatku minder, karena dengan kemampuanku yang hanya sebatas ini, tapi sudah di panggil “Ustadzah”, sungguh ironis sekali. Hal itu pua yang mengharuskanku untuk mengkaji ilmu – ilmu itu kembali yang seharusnya telah ditanamkan semenjak kecil, namun tak apalah,tak ada kata tua untuk belajar, mau tak mau kami harus mengulangi lagi kembali ke Iqro 1 di bawah bimbingan Ustadz Akbar, yang begitu sabar dalam membimbing kami yang lidahnya telah kaku, karena pola pengajaran tajwid kami yang salah sewaktu kecil.



Hidupku kini terasa berwarna, jadi tida saat kita hanya berkutat dengan kuliah saja, namun kami menghiasinya dengan bermasyarakat, berorganisasi, namun tetep berkomitmen bahwa kuliah yang menjadi prioritas kami.

Terimakasih ya Alloh, atas karuniaMu ini, terimakasih buat mas – mas takmir masjid, yang telah ada saat kami butuhkan, Bu Tauhid dengan nasehat – nasehatnya, serta para tetangga – tetangga yang lainnya, (We Love You All, because Alloh ), semoga Indahnya persaudaraan ini makin manis terasa, dan kita bisa menjadi tetangga yang baik, sehingga kami betah tinggal disini. Amin ya Robbal Alamin..............